Senin, 05 Juli 2010

Mengkaji Ulang Ukhuwah Kita

Banyak contoh yang diujarkan sejarah tentang ukhuwah. Sejak jaman Rasul Saw dan para sahabat, lalu membentang hingga abad pertengahan, masa panjang dimana umat Islam menumbuhkan kejayaannya. Bermula dari kaum muhajirin tiba di Madinah, ketika Rasul saw mempersaudarakan mereka dengan kaum anshar. Eratnya hubungan mereka dibuktikan dengan saling berbagi kepemilikan harta. Bukan hanya itu bahkan ada yang rela menceraikan salah seorang isterinya agar dapat dinikahi saudaranya.


Setelah semua itu, layak disoal, mengapa ukhuwah yang tebal dimasa lalu menjadi tipis hari ini. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat:10) dalam ayat ini Allah SWT merangkai kata “iman” dan “ukhuwah”. Dua hal penting yang bisa di petik disini adalah : pertama, kuat dan lemahnya ukhuwah sangat tergantung pada kadar keimanan. Seorang muslim tidak bisa disebut memiliki keimanan yang kokoh, jika sikap ukhuwahnya buruk. Begitu pun sebaliknya. Dengan kata lain, lemahnya ukhuwah adalah bukti lemahnya iman. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah sempurna keimanan salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR Bukhari, Kitab al-Iman no. 12).

Karena itu, dinyatakan sebagaimana di kutip oleh imam Qurthubi ketika menafsirkan ayat di atas, persaudaraan agama lebih kokoh dari pada perasudaraan nasab (berdasarkan garis keturunan). Sebab persaudaraan nasab terputus dengan perbedaan agama, sebaliknya, persaudaraan agama tak pernah terputus oleh perbedaan nasab. Kedua, Ukhuwah merupakan bagian utuh dari konsekuensi keimanan, tak terpisahkan. Seorang muslim tidak bisa membangun keshalihan pribadinya dan keluarganya sendiri lalu lupa dengan nasib saudara-saudaranya semuslim. Rasul Saw bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sayang dan solidaritas mereka seperti satu tubuh, jika salah satu anggotanya mengeluh, maka seluruh jasad akan merasa tidak bisa tidur dan demam. (HR Muslim, kitab Birr wa ash-Shilah wal adab, No.4685).

Ukhuwah bukan hanya ditunjukan dengan saling berbagi rasa. Itu Cuma satu potret dari kesepahaman hati yang paling luas, yang melampaui batas-batas teritorial, geografis maupun kebangsaan. Dengan demikian tak ada beda muslim yang berkulit hitam legam dengan kulit yang putih bersih, antara barat dan timur, antara kaya dan miskin. Kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Muslim adalah “sampah peradaban” yang harus diharmoniskan secara konstruktif. “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada fisik kalian, tidak juga pada bentukmu, tapi pada kehati-hatian kalian (HR Muslim, Kitab Birr wa ash-Shilah wal adab, No.4650).

Ukhuwah juga bukan sekedar perasaan empati dan rasa senasib sepenanggungan terhadap sesama muslim. Bukan pula secuil perasaan menyesal dan kasihan yang sering berujung tangisan. Ia meminta bukti nyata dalam perhatian, pikiran dan tindakan, dalam ujaran dan tutur kata. Ia terjelma dalam do’a khusuk dan ikhlas kita di tengah malam saat tak ada yang mendengar kecuali Yang Maha Mendengar.

Kini, ketika umat Islam di buat centang perenang diberbagai belahan dunia, perasaan ukhuwah itu justru sangat sedikit mencuat hanya sedikit yang menabuhkan protes dan kegusaran, berbagai godaan, problem dan kepentingan pribadi telah melenakan bahkan memadamkan, upaya internalisasi problem-problem kemuatan dalam pikiran dan perhatian kita.

Kita sibuk dengan perpecahan dan saling sengketa, rebut tentang siapa ikut kelompok mana dan siapa akam mendapat apa. Lalu lupa yang lebih penting dari itu, yaitu membuka katup-katup dialog dan komunikasi. Tujuannya agar dapat menyatukan hati, saling mengingatkan dan membetulkan. Kita lupa, bahwa bukan soal saudara kita semuslim berbuat keliru dan maksiat. Yang terpenting adalah bagaimana membuatnya, tak lagi terjebak dalam kekeliruan dan kemaksiatan yang dilakoninya.

Jangan dilupakan pula, kokohnya ukhuwah adalah salah satu pilar kemenangan Islam. Hanya dengan bersatu umat Islam dapat Berjaya. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Dien) Allah, dan jangan lah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…”(QS. Ali Imran:103).

Disini, beda pendapat dalam tubuh umat Islam sah-sah belaka. Peradaban tak mungkin tegak tanpa keanekaragaman pandangan yang memperkaya. Tanpa pluralitas yang mencerahkan. Dengan syarat, atmosfirnya untuk kepentingan memperbaiki dan membangun, bukan merusak apalagi meruntuhkan. Karena perbedaan bukanlah tujuan, tapi lebih sebuah akibat dari upaya sungguh-sungguh umat Islam berlomba-lomba dalam kebaikan.

Disisi lain, perbedaaan dan sunatullah keanekaragaman itu tidak boleh menjadi dalih untuk menyuburkan kesesatan dan meninggalkan petunjuk Al-Qur’an . “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah(terserah) kepada Allah…,”(QS.Al-An’am:159).

Umat islam harus mengusung persatuan, meski di saat yang sama harus memahami perbedaan. Keduanya harus dibangun di atas basis keimanan dan ukhuwah. Maknanya, mereka bersatu karena Allah memerintahkan hal itu. Namun merekapun memahami dan toleran terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keduniaan dan yang bersifat khilafiyah-ijtihadiyah sebagai bentuk perwujudan ukhuwah.

Sampai disini, tak perlu ada lagi kesangsian bagi terwujudnya persatuan islam dan kaum Muslimin. Kita harus memahami makna persatuan itu secara benar sebelum mewujudkannya. Agar kita dapat bersikap dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Kiat-kiat Membangun Ukhuwah
Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) bukanlah teori. Ini adalah ajaran praktis yang bisa kita lakukan dalam keseharian. Karena itu, nikmatnya ukhuwah tidak akan bisa kita kecap, kecuali dengan mempraktikannya.

Jika delapan cara di bawah ini dilakukan, Anda akan merasakan ikatan ukhuwah Anda dengan saudara-saudara seiman Anda semakin kokoh.

1. Katakan bahwa Anda mencintai saudara Anda
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits shahih)

Anas r.a. mengatakan bahwa seseorang berada di sisi Rasulullah Saw., lalu salah seorang sahabat melewatinya. Orang yang berada di sisi Rasulullah tersebut mengatakan, “Aku mencintai dia, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu sudah memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Kemudian orang yang dicintai itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud, dengan sanad shahih)
Jadi, jangan tunda lagi. Katakan cinta kepada orang yang Anda cintai.
2. Minta didoakan dari jauh saat berpisah
Umar bin Khaththab berkata, “Aku minta izin kepada Nabi Muhammad saw. untuk melaksanakan umrah, lalu Rasulullah saw. mengizinkanku.” Beliau bersabda, “Jangan lupakan kami, wahai saudaraku, dalam doamu.” Kemudian ia mengatakan satu kalimat yang menggembirakanku bahwa aku mempunyai keberuntungan dengan kalimat itu di dunia. Dalam satu riwayat, beliau bersabda, “Sertakan kami dalam diamu, wahai saudaraku.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih)
Bersambung ke himmah


Nasehat Dan Fatwa Menuju Hidup Bahagia Ibnu Hajar Al- ‘Asqalani
Nasihat Lukmanul Hakim kepada Putranya
“Wahai anaku, apabila kamu termasuk bijak, kamu dapat mengamalkan sepuluh perkara, yaitu: dapat menghidupkan hati yang mati, suka bergaul dengan orang miskin, menjaga diri dalampergaulan dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya, menyayangi orang tua, memerdekakan hamba, mengungsikan orang yang terlantar, memberi bantuan kepada orang fakir, menghargai kemuliaan orang yang memang mulia, menghormati kepemimpinan pemimpin. Kesepuluh hal itu lebih mulia dari pada harta, penangkis rasa takut, sebagai bekal dalam berperang dan sebagai dagangan yang berlaba. Ia dapat memberi syafaat waktu susah, dan sebagai bukti pada nafsu bila sudah tiba ajalnya. Dan ia bagaikan penutup aurat disaat telanjang. “

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger