Senin, 21 Juni 2010

Meraih Takwa Melalui Ibadah Qurban

Sebuah ayat yang menjadi pertanda disyari'atkannya ibadah qurban adalah firman Allah Ta'ala,Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (Qs. Al Kautsar: 2).


Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari 'Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu 'Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atho', Mujahid dan jumhur (mayoritas) ulama.[1]

Penyembelihan qurban ketika hari raya Idul Adha disebut dengan al udh-hiyah, sesuai dengan waktu pelaksanaan ibadah tersebut.[2] Sehingga makna al udh-hiyyah menurut istilah syar'i adalah hewan yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta'ala, dilaksanakan pada hari an nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat tertentu.[3]

Dari definisi ini, maka yang tidak termasuk dalam al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih bukan dalam rangka taqorrub pada Allah (seperti untuk dimakan, dijual, atau untuk menjamu tamu). Begitu pula yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih di luar hari tasyriq walaupun dalam rangka taqarrub pada Allah. Begitu pula yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan untuk aqiqah dan al hadyu yang disembelih di Mekkah.[4]

Catatan: Aqiqah adalah hewan yang disembelih dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran anak yang diberikan oleh Allah Ta'ala, baik anak laki-laki maupun perempuan. Sehingga aqiqah berbeda dengan al udh-hiyyah karena al udh-hiyyah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kehidupan, bukan syukur atas nikmat kelahiran si buah hati. Oleh karena itu, jika seorang anak dilahirkan ketika Idul Adha, lalu diadakan penyembelihan dalam rangka bersyukur atas nikmat kelahiran tersebut, maka sembelihan ini disebut dengan sembelihan aqiqah dan bukan al udh-hiyyah.[5]

Hikmah di Balik Menyembelih Qurban
Pertama: Bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan.

Kedua: Menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim khalilullah (kekasih Allah)- 'alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail 'alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).

Ketiga: Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma'il 'alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma'il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya.[6]

Keempat: Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang semisal dengan hewan qurban.[7]

Raihlah Ikhlas dan Takwa dari Sembelihan Qurban
Menyembelih qurban adalah suatu ibadah yang mulia dan bentuk pendekatan diri pada Allah, bahkan seringkali ibadah qurban digandengkan dengan ibadah shalat. Allah Ta'ala berfirman,Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (Qs. Al Kautsar: 2)Katakanlah: sesungguhnya shalatku, an nusuk-ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. Al An'am: 162). Di antara tafsiran an nusuk adalah sembelihan, sebagaimana pendapat Ibnu 'Abbas, Sa'id bin Jubair, Mujahid dan Ibnu Qutaibah. Az Zajaj mengatakan bahwa bahwa makna an nusuk adalah segala sesuatu yang mendekatkan diri pada Allah 'azza wa jalla, namun umumnya digunakan untuk sembelihan.[8]

Ketahuilah, yang ingin dicapai dari ibadah qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, dan bukan hanya daging atau darahnya. Allah Ta'ala berfirman,Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Qs. Al Hajj: 37)

Ingatlah, bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala sesuatu dan dialah yang pantas diagung-agungkan. Yang Allah harapkan dari qurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap pahala dari-Nya) dan niat yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan (yang artinya), “ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho-Nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berqurban yaitu ikhlas, bukan riya' atau berbangga dengan harta yang dimiliki, dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan.[9]

Footnote:
[1] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 6/195, Mawqi' At Tafaasir.
[2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/366, Maktabah At Taufiqiyyah, cetakan tahun 2003.
[3] Lihat Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1525, Multaqo Ahlul Hadits.
[4] Idem
[5] Lihat Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526.
[6] Lihat Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1528.
[7] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/379.
[8] Lihat Zaadul Masiir, 2/446.
[9] Lihat penjelasan yang sangat menarik dari Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di dalam Taisir Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H

Mari Berqurban
Setiap memasuki bulan Dzulhijjah kita selalu diingatkan dengan sebuah peristiwa besar. Sebuah peristiwa yang dialami oleh nabi Ibrahim as bersama anaknya Ismail as, sebagaimana tertera dalam QS. Ash-Shaffat [37] : 102. Allah swt menyampaikan wahyu kepada Nabi Ibrahim as melalui mimpi untuk menyembelih anak kesanyangannya. Sungguh sebuah ujian yang sangat berat dari Allah swt, beliau harus mengorbankan anaknya untuk melaksanakan perintah Allah, dan ternyata beliau mampu menempuh ujian berat tersebut. Atas kesungguhannya Allah menggantinya dengan seekor kambing yang besar. Itulah qurban yang dilakukan oleh Ibrahim as.

Dari peristiwa itu, maka ditetapkanlah 10 Dzulhijjah sebagai hari raya 'Idul Adlha, dimana pada hari tersebut syari'at penyembelihan binatang (kambing, sapi, atau onta) yang disebut qurban atau udlhiyah. Syari'at ini disamping sebagai wujud ibadah kepada Allah swt juga dalam rangka napak tilas terhadap apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dan anaknya.

Kata qurban berasal dari akar kata qaruba-yaqrubu-qurbanan yang artinya dekat. Menurut ar-Raghib dalam kitab Mufradatnya, kata qurban bermakna mayataqarrabu bihi ilal-'Llab; segala hal yang mendekatkan kepada Allah. Oleh karena itu, maka apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dengan segala resiko yang dihadapinya adalah sebuah bentuk qurban (mendekatkan diri) kepada Allah, sekalipun harus mengorbankan anaknya.

Jauh sebelum itu, qurban juga dilakukan oleh putra-putra Nabi Adam as, yaitu Qabil dan Habil (QS 5:27). Qurban dititahkan oleh Allah swt untuk membuktikan ketaqwaan mereka, sehingga bisa diketahui siapa diantara keduanya yang benar-benar taqwa kepada Allah swt.

Sebagaimana kita ketahui, Allah swt telah memberikan pilihan kepada manusia untuk memilih iman atau kufur (QS 18:29), sebab Allah telah menjelaskan mana petunjuk (ar-rusyd) dan mana kesesatan (al-ghayyu) (QS 2:256), serta telah menjelaskan konsekuensi yang akan terjadi dari pilihan yang diambil.

Pengorbanan untuk sesuatu artinya menafikan sesuatu yang lain yang berlawanan dengannya. Ketika orang menghadap Utara maka konsekuensinya ia membelakangi Selatan, tidak mungkin menghadap Utara sekaligus Selatan. Ketika tauhid menjadi pilihan, maka syirik tercampakan. Orang yang iman kepada Allah berarti kufur kepada taghut, dan sebaliknya (QS 2:256). Begitulah Ibrahim as telah menentukan iman kepada Allah swt sebagai pilihan yang konsekuensinya siap mengorbankan anaknya.

Lalu, pada posisi manakah kita berada? Jawabnya tergantung pada mana yang menjadi pilihan kita; akankah kita termasuk orang yang membela kepentingan dunia kita (harta, jabatan, tahta, wanita, dll.) dan mencampakan Allah dan Rasulnya; ataukah menjadi Allah, Rasul dan jihad di jalanNya sebagai prioritas utama (QS 9:24)? Alangkah baiknya tentu jika binatang yang kita sembelih di nula Dzulhijjah menjadi bukti bahwa pilihan kita adalah Allah swt, sebagai salah satu wujud qurban kita kepadaNya. Amin.

Nasehat Dan Fatwa Menuju Hidup Bahagia Ibnu Hajar Al- ‘Asqalani
Nasihat Lukmanul Hakim kepada putranya.
“Wahai anakku. Apabila kamu termasuk bijak, kamu dapat mengamalkan sepuluh perkara, yaitu : Dapat menghidupkan hati yang mati, suka bergaul dengan orang miskin, menjaga diri dalam pergaulan dengan orang yang tinggi kedudukannya (Raja), menyayangi orang miskin, memerdekakan hamba sahaya, mengungsikan orang yang terlantar, memberi bantuan kepada orang fakir, menghargai kemuliaan orang yang memang mulia, menghormati kepemimpinan pemimpin. Kesepuluh hal itu lebih mulia dari pada harta, penangkis rasa takut, sebagai bekal dalam berperang, dan sebagai dagangan yang berlaba. Ia dapat memberi syafa’at (pertolongan) waktu susah, dan sebagai bukti/hujah pada nafsu bila sudah tiba ajalnya. Dan ia bagaiklan penutup aurat di saat telanjang.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger