Senin, 05 Juli 2010

Mengingat kembali Kisah Nabi Nuh A.S

Nabi Nuh adalah nabi keempat sesudah Adam, Syith dan Idris dan keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Ayahnya adalah Lamik bin Metusyalih bin Idris.


Dakwah Nabi Nuh Kepada Kaumnya

Nabi Nuh menerima wahyu kenabian dari Allah dalam masa "fatrah" masa kekosongan di antara dua rasul di mana biasanya manusia secara beransur-ansur melupakan ajaran agama yang dibawa oleh nabi yang meninggalkan mereka dan kembali bersyirik meninggalkan amal kebajikan, melakukan kemungkaran dan kemaksiatan di bawah pimpinan Iblis.


Demikianlah maka kaum Nabi Nuh tidak luput dari proses tersebut, sehingga ketika Nabi Nuh datang di tengah-tengah mereka, mereka sedang menyembah berhala ialah patung-patung yang dibuat oleh tangan-tangan mereka sendiri disembahnya sebagai tuhan-tuhan yang dapat membawa kebaikan dan manfaat serta menolak segala kesengsaraan dan kemalangan. Berhala-berhala yang dipertuhankan dan menurut kepercayaan mereka mempunyai kekuatan dan kekuasaan ghaib ke atas manusia itu diberinya nama-nama yang silih berganti menurut kehendak dan selera kebodohan mereka. Kadang-kadang mereka namakan berhala mereka " Wadd " dan " Suwa " kadang kala " Yaguts " dan bila sudah bosan digantinya dengan nama " Yatuq " dan " Nasr ".


Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya yang sudah jauh tersesat oleh iblis itu, mengajak mereka meninggalkan syirik dan penyembahan berhala dan kembali kepada tauhid menyembah Allah Tuhan sekalian alam melakukan ajaran-ajaran agama yang diwahyukan kepadanya serta meninggalkan kemungkaran dan kemaksiatan yang diajarkan oleh Syaitan dan Iblis.


Nabi Nuh menarik perhatian kaumnya agar melihat alam semesta yang diciptakan oleh Allah berupa langit dengan matahari, bulan dan bintang-bintang yang menghiasinya, bumi dengan kekayaan yang ada di atas dan di bawahnya, berupa tumbuh-tumbuhan dan air yang mengalir yang memberi kenikmatan hidup kepada manusia, pengantian malam menjadi siang dan sebaliknya yang kesemua itu menjadi bukti dan tanda nyata akan adanya keesaan Tuhan yang harus disembah dan bukan berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri. Di samping itu Nabi Nuh juga memberitakan kepada mereka bahwa akan ada ganjaran yang akan diterima oleh manusia atas segala amalannya di dunia yaitu syurga bagi amalan kebajikan dan neraka bagi segala pelanggaran terhadap perintah agama yang berupa kemungkaran dan kemaksiatan.


Nabi Nuh yang dikurniakan Allah dengan sifat-sifat yang patut dimiliki oleh seorang nabi, fasih dan tegas dalam kata-katanya, bijaksana dan sabar dalam tindak-tanduknya melaksanakan tugas risalahnya kepada kaumnya dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan dengan cara yang lemah lembut mengetuk hati nurani mereka dan kadang kala dengan kata-kata yang tajam dan nada yang kasar bila menghadapi pembesar-pembesar kaumnya yang keras kepala yang enggan menerima hujjah dan dalil-dalil yang dikemukakan kepada mereka yang tidak dapat mereka membantahnya atau mematahkannya.


Akan tetapi walaupun Nabi Nuh telah berusaha sekuat tanaganya berdakwah kepada kaumnya dengan segala kebijaksanaan, kecekapan dan kesabaran dan dalam setiap kesempatan, siang maupun malam dengan cara berbisik-bisik atau cara terang dan terbuka ternyata hanya sedikit sekali dari kaumnya yang dapat menerima dakwahnya dan mengikuti ajakannya, yang menurut sementara riwayat tidak melebihi bilangan seratus orang, Mereka pun terdiri dari orang-orang yang miskin berkedudukan sosial lemah. Sedangkan orang yang kaya-raya, berkedudukan tingi dan terpandang dalam masyarakat, yang merupakan pembesar-pembesar dan penguasa-penguasa tetap membangkang, tidak mempercayai Nabi Nuh mengingkari dakwahnya dan sesekali tidak merelakan melepas agamanya dan kepercayaan mereka terhadap berhala-berhala mereka, bahkan mereka berusaha dengan mengadakan persekongkolan hendak melumpuhkan dan mengagalkan usaha dakwah Nabi nuh.


Berkata mereka kepada Nabi Nuh:"Bukankah engkau hanya seorang daripada kami dan tidak berbeda daripada kami sebagai manusia biasa. Jikalau betul Allah akan mengutuskan seorang rasul yang membawa perintah-Nya, niscaya Ia akan mengutuskan seorang malaikat yang patut kami dengarkan kata-katanya dan kami ikuti ajakannya dan bukan manusia biasa seperti engkau hanya dapat diikuti orang-orang rendah kedudukan sosialnya seperti para buruh, petani, orang-orang yang tidak berpenghasilan yang bagi kami mereka seperti sampah masyarakat.Pengikut-pengikutmu itu adalah orang-orang yang tidak mempunyai daya fikiran dan ketajaman otak, mereka mengikutimu secara buta tuli tanpa memikirkan dan menimbangkan masak-masak benar atau tidaknya dakwah dan ajakanmu itu. Coba agama yang engkau bawa dan ajaran -ajaran yang engkau salurkan kepada kami itu betul-betul benar,, niscaya kamilah dulu yang mengikutimu dan bukannya orang-orang yang mengemis, pengikut-pengikutmu itu. kami sebagai pemuka-pemuka masyarakat yang pandai berfikir, memiliki kecerdasan otak dan pandangan yang luas dan yang dipandang masyarakat sebagai pemimpin-pemimpinnya, tidaklah mudah kami menerima ajakanmu dan dakwahmu. Engkau tidak mempunyai kelebihan di atas kami tentang soal-soal kemasyarakatan dan pergaulan hidup.kami jauh lebih pandai dan lebih mengetahui daripadamu tentang hal itu semua.nya. Anggapan kami terhadapmu, tidak lain dan tidak bukan, bahwa engkau adalah pendusta belaka."Nuh berkata, menjawab ejekan dan olok-olokan kaumnya:"Adakah engkau mengira bahwa aku dapat memaksa kamu mengikuti ajaranku atau mengira bahwa aku mempunyai kekuasaan untuk menjadikan kamu orang-orang yang beriman, jika kamu tetap menolak ajakan ku dan tetap membuta-tuli terhadap bukti-bukti kebenaran dakwahku dan tetap mempertahakan pendirianmu yang tersesat yang diilhamkan oleh kesombongan dan kecongkakan karena kedudukan dan harta-benda yang kamu miliki. Aku hanya seorang manusia yang mendapat amanat dan diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kamu. Jika kamu tetap berkeras kepala dan tidak mahu kembali ke jalan yang benar dan menerima agama Allah yang diutuskan-Nya kepada ku, maka terserahlah kepada Allah untuk menentukan hukuman-Nya dan ganjaran-Nya keatas diri kamu. Aku hanya pesuruh dan rasul-Nya yang diperintahkan untuk menyampaikan amanat-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dialah yang berkuasa memberi hidayah kepadamu dan mengampuni dosamu atau menurunkan azab dan siksaan-Nya di atas kamu sekalian, jika Ia kehendaki. Dialah pula yang berkuasa menurunkan siksa dan azab-Nya di dunia atau menangguhkannya sampai hari kemudian. Dialah Tuhan pencipta alam semesta ini, Maha Kuasa ,Maha Mengetahui, maha Pengasih dan Maha Penyayang.".


Kaum Nuh mengemukakan syarat dengan berkata:"Wahai Nuh! Jika engkau menghendaki kami mengikutimu dan memberi sokongan dan semangat kepada kamu dan kepada agama yang engkau bawa, maka jauhkanlah para pengikutmu yang terdiri dari orang-orang petani, buruh dan hamba-hamba sahaya itu. Usirlah mereka dari pengaulanmu karena kami tidak dapat bergaul dengan mereka duduk berdampingan dengan mereka mengikut cara hidup mereka dan bergabung dengan mereka dalam suatu agama dan kepercayaan. Dan bagaimana kami dapat menerima satu agama yang menyamaratakan para bangsawan dengan orang awam, penguasa dan pembesar dengan buruh-buruhnya dan orang kaya yang berkedudukan dengan orang yang miskin dan papa."


Nabi Nuh menolak persyaratan kaumnya dan berkata:"Risalah dan agama yang aku bawa adalah untuk semua orang tiada pengecualian, yang pandai maupun yang bodoh, yang kaya maupun miskin, majikan ataupun buruh ,diantara peguasa dan rakyat biasa semuanya mempunyai kedudukan dan tempat yang sama trehadap agama dan hukum Allah. Andai kata aku memenuhi persyaratan kamu dan meluluskan keinginanmu menyingkirkan para pengikutku yang setia itu, maka siapakah yang dapat ku harapkan akan meneruskan dakwahku kepada orang ramai dan bagaimana aku sampai hati menjauhkan daripadaku orang-orang yang telah beriman dan menerima dakwahku dengan penuh keyakinan dan keikhlasan di kala kamu menolaknya serta mengingkarinya, orang-orang yang telah membantuku dalam tugasku di kala kamu menghalangi usahaku dan merintangi dakwahku. Dan bagaimanakah aku dpt mempertanggungjawabkan tindakan pengusiranku kepada mereka terhadap Allah bila mereka mengadu bahwa aku telah membalas kesetiaan dan ketaatan mereka dengan sebaliknya semata-mata untuk memenuhi permintaanmu dan tunduk kepada persyaratanmu yang tidak wajar dan tidak dapat diterima oleh akal dan fikiran yang sihat. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang bodoh dan tidak berfikiran sehat.”


Pada akhirnya, karena merasa tidak berdaya lagi mengingkari kebenaran kata-kata Nabi Nuh dan merasa kehabisan alasan dan hujjah untuk melanjutkan dialog dengan beliau, maka berkatalah mereka:"Wahai Nabi Nuh! Kita telah banyak bermujadalah dan berdebat dan cukup berdialog serta mendengar dakwahmu yang sudah menjemukan itu. Kami tetap tidak akan mengikutimu dan tidak akan sesekali melepaskan kepercayaan dan adat-istiadat kami sehingga tidak ada gunanya lagi engkau mengulang-ulangi dakwah dan ajakanmu dan bertegang lidah dengan kami, datangkanlah apa yang engkau katakan, buktikanlah kau orang yang menepati janji, kami ingin melihat kebenaran kata-katamu dan ancamanmu dalam kenyataan, karena kami masih tetap belum mempercayaimu dan tetap meragukan dakwahmu."

Bersambung Ke Himmah Jam’iyyah


Hadist Arba’in An-Nawawi

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Kamu sekalian, satu sama lain Janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya. Taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). Seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya bagi muslim yang lain, demikian juga harta dan kehormatannya”. [Muslim no. 2564]

Takdir Allah Tidak Kejam

Pembaca yang budiman, iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Barangsiapa tidak mengimaninya sungguh dia telah terjerumus dalam kekafiran meskipun dia mengimani rukun-rukun iman yang lainnya. Walhamdulillah banyak diantara kaum muslimin yang telah mengenal takdir, akan tetapi amat disayangkan ternyata masih terdapat berbagai fenomena yang justru menodai bahkan bertentangan dengan keimanan kepada takdir.


Barangkali masih tersimpan dalam ingatan kita tatkala seorang artis mempopulerkan lagu 'Takdir memang kejam' yang sangat digemari oleh sebagian masyarakat negeri ini beberapa waktu lampau, yang menunjukkan betapa mudahnya masyarakat kita menerima sesuatu yang menurut mereka bagus namun pada hakikatnya justeru merusak akidah mereka. Karena itulah setiap muslim wajib membekali dirinya dengan pemahaman takdir yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam mengimani takdir ada empat hal yang harus diyakini dalam dada setiap muslim yaitu al 'ilmu, al kitabah, al masyi'ah dan al kholq.


Pertama, Al 'Ilmu (Tentang Ilmu Allah)

Kita meyakini bahwa ilmu Allah Ta'ala meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci yang terjadi sejak zaman azali (yang tidak berpermulaan) sampai abadi (yang tidak berkesudahan).Allah Ta'ala berfirman, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj: 70). Allah sudah tahu siapa saja yang akan menghuni Surga dan siapa yang akan menghuni Neraka. Tidak ada satupun makhluk di langit maupun di bumi bahkan di dalam perut bumi sekalipun yang luput dari pengetahuan-Nya.


Kedua, Al Kitabah (Tentang Penulisan Ilmu Allah)

Kita meyakini bahwa Allah Ta'ala telah menuliskan ilmu-Nya tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam Lauhul Mahfuzh sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rosululloh shollAllahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Takdir yang ditulis di Lauhul Mahfuzh ini tidak pernah berubah. Berdasarkan ilmu-Nya, Allah telah menuliskan siapa saja yang termasuk penghuni surga dan siapa yang termasuk penghuni neraka. Namun tidak ada satu orangpun yang mengetahui apa yang ditulis di Lauhul Mahfuzh kecuali setelah hal itu terjadi.


Ketiga, Al Masyi'ah (Tentang Kehendak Allah)

Kita meyakini bahwa Allah Ta'ala memiliki kehendak yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu perbuatan makhluk pun yang keluar dari kehendak-Nya. Segala sesuatu yang terjadi semuanya di bawah kehendak (masyi'ah) Allah, entah itu disukai atau tidak disukai oleh syari'at. Inilah yang disebut dengan Irodah Kauniyah Qodariyah atau Al Masyi'ah. Seperti adanya ketaatan dan kemaksiatan itu semua terjadi di bawah kehendak Allah yang satu ini. Meskipun kemaksiatan itu tidak diinginkan terjadi oleh aturan syari'at.

Di sisi lain Allah memiliki Irodah Syar'iyah Diniyah. Di dalam jenis kehendak/irodah yang kedua ini terkandung kecintaan Allah. Maka orang yang berbuat taat telah menuruti 2 macam kehendak Allah ini. Adapun orang yang bermaksiat dia telah menyimpang dari Irodah Syar'iyah namun tidak terlepas dari Irodah Kauniyah. Lalu apakah orang yang bermaksiat ini terpuji? Jawabnya, Tidak. Karena dia telah melakukan perkara yang tidak dicintai d bahkan dibenci oleh Allah.


Keempat, Al Kholq (Tentang Penciptaan Segala Sesuatu Oleh Allah)

Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah makhluk ciptaan Allah baik itu berupa dzat maupun sifat, demikian juga seluruh gerak-gerik yang terjadi di dalamnya. Allah Ta'ala befirman, “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” (Az Zumar: 62). Perbuatan hamba juga termasuk makhluk ciptaan Allah, karena perbuatan tersebut terjadi dengan kehendak dan kemampuan hamba; yang kedua-duanya ada karena diciptakan oleh Allah. Allah Ta'ala berfirman, “Allah-lah yang Menciptakan kalian dan amal perbuatan kalian.” (QS. Ash Shoffaat: 96)


Sumber Kesesatan Dalam Memahami Takdir

Sesungguhnya kesesatan dalam memahami takdir bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami kehendak/irodah Allah. Mereka yang menganggap terjadinya kemaksiatan terjadi di luar kehendak Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang menunjukkan tentang Irodah Kauniyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Qodariyah yang menolak takdir. Sedangkan mereka yang menganggap segala sesuatu yang ada baik ketaatan maupun kemaksiatan terjadi karena dicintai Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang mengancam hamba yang menyimpang dari Irodah Syar'iyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Jabriyah yang menganggap hamba dalam keadaan dipaksa oleh Allah. Maha Suci lagi Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Maka Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, mereka mengimani Irodah Syar'iyah dan Irodah Kauniyah, dan inilah pemahaman Nabi dan para sahabat.


Takdir Adalah Rahasia Allah

Ali bin Abi Tholib rodhiyAllahu 'anhu menceritakan bahwa Nabi shollAllahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kalian telah ditulis tempat duduknya di surga atau di neraka.” Maka ada seseorang dari suatu kaum yang berkata, “Kalau begitu kami bersandar saja (tidak beramal-pent) wahai Rosululloh?”. Maka beliau pun menjawab, “Jangan demikian, beramallah kalian karena setiap orang akan dimudahkan”, kemudian beliau membaca firman Allah, “Adapun orang-orang yang mau berderma dan bertakwa serta membenarkan Al Husna (Surga) maka kami siapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail: 5-7). (HR. Bukhori dan Muslim). Inilah nasehat Nabi kepada kita untuk tidak bertopang dagu dan supaya senantiasa bersemangat dalam beramal dan tidak menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermaksiat.


Pilih Mana: Jalan ke Surga Atau ke Neraka?

Apabila di hadapan anda terdapat 2 buah jalan; yang satu menuju daerah yang penuh kekisruhan dan ketidakamanan, sedangkan jalan yang satunya menuju daerah yang penuh ketentraman dan keamanan. Akan kemanakah anda akan melangkahkan kaki? Akal sehat tentu tidak memilih jalan yang pertama. Maka demikian pulalah seharusnya kita bersikap dalam memilih jalan yang menuju kehidupan akhirat kita, hendaknya jalan ke surga itulah yang kita pilih bukan sebaliknya. Alangkah tidak adilnya manusia yang memilih kesenangan duniawi dengan akalnya namun justeru memilih kesengsaraan akhirat dengan dalih takdir dan membuang akal sehatnya. Suatu saat ada pencuri yang hendak dipotong tangan oleh kholifah Umar, namun pencuri ini mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya aku mencuri hanya karena takdir Allah.” Umar pun menjawab, “Dan Kami pun memotong tangan dengan takdir Allah.” Lalu siapakah yang kejam? Bukan takdir Allah yang kejam tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Wallahu a'lam bish showaab.


Hadist Arba’in An-Nawawi

Dari Abu 'Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anh, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.

6 Kerusakan Valentine's Day

Alhamdulillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kama yuhibbu robbuna wa yardho. Allahumma sholli 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.


Banyak kalangan pasti sudah mengenal hari valentine (bahasa Inggris: Valentine's Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya. Sehingga valentine's day biasa disebut pula dengan hari kasih sayang.


Cikal Bakal Hari Valentine

Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine's Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi namanama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan dijadikan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.


Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine's Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).


Kaitan Hari Kasih Sayang dengan Valentine

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.


Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan Tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.


Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).


Versi lainnya menceritakan bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan kepercayaan), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”. (Sumber pembahasan di atas: http://id.wikipedia.org/ dan lain-lain)


Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

1. Valentine's Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.

2. Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine's Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.

3. Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.

4. Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.


Sungguh ironis memang kondisi umat Islam saat ini. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui kenyataan sejarah di atas. Seolah-olah mereka menutup mata dan menyatakan boleh-boleh saja merayakan hari valentine yang cikal bakal sebenarnya adalah ritual paganisme. Sudah sepatutnya kaum muslimin berpikir, tidak sepantasnya mereka merayakan hari tersebut setelah jelas-jelas nyata bahwa ritual valentine adalah ritual non muslim bahkan bermula dari ritual paganisme.


Selanjutnya kita akan melihat berbagai kerusakan yang ada di hari Valentine.


Kerusakan Pertama : Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir

Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma'). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho' Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta'liq: Dr. Nashir bin 'Abdil Karim Al 'Aql, terbitan Wizarotusy Syu'un Al Islamiyah).


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103) Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho', 1/185)


Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho' [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa'ul Gholil no. 1269). Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.


Kerusakan Kedua: Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman

Allah Ta'ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)


Ibnul Jauziy dalam Zaadul Maysir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi' bin Anas.


Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk 'aib (Lihat Iqtidho', 1/483). Jadi, merayakan Valentine's Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.


Kerusakan Ketiga: Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya di Hari Kiamat Nanti

Jika orang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan berikut ini.


Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,ِ

“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”

Orang tersebut menjawab,

“Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,َ “(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: Anta ma'a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”

Bersambung ke Himmah


Hadist Arba’in An-Nawawi

Dari Abu 'Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anh, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.

Dahsyatnya Syirik

Setiap muslim pasti mengetahui bahwa syirik hukumnya adalah haram. Namun, apakah kita telah mengetahui hakikat syirik serta seberapa besar tingkat keharaman dan bahayanya? Boleh jadi ada yang berkata, “Syirik itu haram, harus ditinggalkan!”, namun dalam kesehariannya justru bergelimang dalam amalan kesyirikan sedangkan ia tidak menyadarinya. Oleh karena itu ada baiknya kita kupas permasalahan ini agar tidak terjadi kerancuan di dalamnya.


Makna Syirik
Alloh memberitakan bahwa tujuan penciptaan kita tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman Allah, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik berupa perkataan atau perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Ibadah disini meliputi do'a, sholat, nadzar, kurban, rasa takut, istighatsah (minta pertolongan) dan sebagainya. Ibadah ini harus ditujukan hanya kepada Alloh tidak kepada selain-Nya, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Hanya kepadaMu lah kami beribadah dan hanya kepadaMu lah kami minta pertolongan.” (Al Fatihah: 5)

Barangsiapa yang menujukan salah satu ibadah tersebut kepada selain Allah maka inilah kesyirikan dan pelakunya disebut musyrik. Misalnya seorang berdo'a kepada orang yang sudah mati, berkurban (menyembelih hewan) untuk jin, takut memakai baju berwarna hijau tatkala pergi ke pantai selatan dengan keyakinan ia pasti akan ditelan ombak akibat kemarahan Nyi Roro Kidul dan sebagainya. Ini semua termasuk kesyirikan dan ia telah menjadikan orang yang sudah mati dan jin itu sebagai sekutu bagi Allah subhanahu wa ta'ala.


Kedudukan Syirik
Syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Abdullah bin Mas'ud rodhiyallohu ta'ala 'anhu berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Beliau shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Maka sudah selayaknya bagi kita untuk berhati-hati jangan sampai ibadah kita tercampuri dengan kesyirikan sedikit pun, dengan jalan mempelajari ilmu agama yang benar agar kita mengetahui mana yang termasuk syirik dan mana yang bukan syirik. Hendaklah kita merasa takut terjerumus ke dalam kesyirikan, karena samarnya permasalahan ini sebagaimana sabda NabiSAW, “Wahai umat manusia, takutlah kalian terhadap kesyirikan, karena syirik itu lebih samar dari (jejak) langkah semut.” (HR. Ahmad)


Syirik Menggugurkan Seluruh Amal
Orang yang dalam hidupnya banyak melakukan amal sholeh seperti sholat, puasa, shodaqoh dan lainnya, namun apabila dalam hidupnya ia berbuat syirik akbar dan belum bertaubat sebelum matinya, maka seluruh amalnya akan terhapus. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Dan jika seandainya mereka menyekutukan Allah, maka sungguh akan hapuslah amal yang telah mereka kerjakan.” (Al- An'am: 88)

Begitu besarnya urusan ini, hingga Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya SAW, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az Zumar: 65). Para Nabi saja yang begitu banyak amalan mereka diperingatkan oleh Allah terhadap bahaya syirik, yang apabila menimpa pada diri mereka maka akan menghapuskan seluruh amalnya, lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita merasa aman dari bahaya kesyirikan?

Oleh karena itu beruntunglah orang-orang yang menyibukkan diri dalam mempelajari masalah tauhid (lawan dari syirik) dan syirik agar bisa terhindar sejauh-jauhnya, serta merugilah orang-orang yang menyibukkan dirinya dalam masalah-masalah yang lain atau bahkan menghalang-halangi dakwah tauhid!!

Pelaku Syirik Akbar Kekal di Neraka dan Dosanya Tidak Akan Diampuni Oleh Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (An-Nisa': 48). Juga firman-Nya yang artinya, “Barangsiapa yang menyekutukan Allah, pasti Allah haramkan atasnya untuk masuk surga. Dan tempatnya adalah di neraka. Dan tidak ada bagi orang yang dhalim ini seorang penolongpun.” (Al-Ma'idah: 72).


Orang Musyrik Haram Dinikahi
Hal ini berdasarkan firman Alloh yang artinya, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)


Sembelihan Orang-Orang Musyrik Haram Dimakan
Allah Ta'ala berfirman, “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An'am: 121)

Begitu besarnya bahaya syirik, maka sudah selayaknya bagi setiap orang untuk takut terjerumus dalam dosa ini yang akan menyebabkan ia merugi di dunia dan di akhirat. Bagaimana mungkin kita tidak takut padahal Nabi SAW saja takut terhadap masalah ini? Sampai-sampai beliau shollallohu 'alaihi wa sallam berdoa supaya dijauhkan dari perbuatan syirik. Beliau mengajarkan sebuah do'a yang artinya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu padahal aku mengetahui bahwa itu syirik. Dan ampunilah aku terhadap dosa yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad)

Semoga Allah Ta'ala menjaga kita semua dari kesyirikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita SAW, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Kiat Menjaga Istiqomah

Kaum muslimin rahimakumullah, di dalam kehidupan manusia, Allah telah menetapkan jalan yang harus ditempuh oleh manusia melalui syariat-Nya sehingga seseorang senantiasa Istiqomah dan tegak di atas syariat-Nya, selalu menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya serta tidak berpaling ke kanan dan ke kiri. Allah ta'ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa istiqomah.

Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Robb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap beristiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan (di dunia)” (QS. Al Ahqaaf [46]: 13-14)

Akan tetapi bagaimana pun juga seorang hamba tidak mungkin untuk senantiasa terus dan sempurna dalam istiqomahnya. Terkadang seorang hamba luput dan lalai yang menyebabkan nilai istiqomah seorang hamba menjadi berkurang. Oleh karena itu, Allah memberikan jalan keluar untuk memperbaiki kekurangan tersebut yaitu dengan beristigfar dan memohon ampun kepada Allah ta'ala dari dosa dan kesalahan. Allah ta'ala berfirman yang artinya, Maka beristiqomahlah (tetaplah) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya”. (QS. Fushshilat [41]: 6). Di dalam al-Qur'an maupun Sunnah telah ditegaskan cara-cara yang dapat ditempuh oleh seorang hamba untuk bisa meraih istiqomah yaitu sebagai berikut:

Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
Allah Ta'ala berfirman,
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27). Tafsiran ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”. Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.

Kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah.

Kedua: Mengkaji Al Qur'an dengan menghayati dan merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur'an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur'an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta'ala berfirman:, “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)[11] menurunkan Al Qur'an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)

Oleh karena itu, Al Qur'an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32). Al Qur'an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. [ Alasannya, karena Al Qur'an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, “Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al Qur'an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi orang-orang beriman.” Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur'an adalah petunjuk bagi hati orang beriman dan obat penawar bagi hati dari berbagai keraguan.” Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.

Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari'at Allah
Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari'at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta'ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” 'Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta'ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat 'Abdullah bin 'Umar.” Yaitu Ibnu 'Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.

Dari 'Abdullah bin 'Amr bin Al 'Ash radhiyallahu 'anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata padanya,
“Wahai 'Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”
Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus “futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.

Dalam Al Qur'an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta'ala berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 11)
Contohnya kita bisa mengambil kisah istiqomahnya Nabi Ibrahim.
“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”.
- Bersambung ke Himmah Jamiyah

Nasehat Dan Fatwa Menuju Hidup Bahagia Ibnu Hajar Al- ‘Asqalani
Rasulullah SAW Bersabda:
“Hamba Allah di langit dan di bumi tidak di anggap Mu’min sebelum ia menjadi washul (berbuat belas kasih terhadap sesama). Ia tidak dianggap washul sebelum ia Muslim. Ia tidak di anggap Muslim sebelum orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Ia tidak dianggap Muslim sebelum ia berilmu. Ia tidak disebut berilmu sebelum mengamalkan ilmunya. Ia tidak disebut mengamalkan ilmu, sebelum ia bersikap zuhud (tidak rakus akan keduniawian). Ia tidak disebut bersikap zuhud sebelum wara’. Ia tidak disebut wara’ sebelum ia rendah hati. Ia tidak disebut rendah hati sebelum ia tahu perihal dirinya. Dan ia tidak disebut tahu perihal dirinya sebelum ia mengerti apa yang dibicarakannya.”

Mengkaji Ulang Ukhuwah Kita

Banyak contoh yang diujarkan sejarah tentang ukhuwah. Sejak jaman Rasul Saw dan para sahabat, lalu membentang hingga abad pertengahan, masa panjang dimana umat Islam menumbuhkan kejayaannya. Bermula dari kaum muhajirin tiba di Madinah, ketika Rasul saw mempersaudarakan mereka dengan kaum anshar. Eratnya hubungan mereka dibuktikan dengan saling berbagi kepemilikan harta. Bukan hanya itu bahkan ada yang rela menceraikan salah seorang isterinya agar dapat dinikahi saudaranya.


Setelah semua itu, layak disoal, mengapa ukhuwah yang tebal dimasa lalu menjadi tipis hari ini. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat:10) dalam ayat ini Allah SWT merangkai kata “iman” dan “ukhuwah”. Dua hal penting yang bisa di petik disini adalah : pertama, kuat dan lemahnya ukhuwah sangat tergantung pada kadar keimanan. Seorang muslim tidak bisa disebut memiliki keimanan yang kokoh, jika sikap ukhuwahnya buruk. Begitu pun sebaliknya. Dengan kata lain, lemahnya ukhuwah adalah bukti lemahnya iman. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah sempurna keimanan salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR Bukhari, Kitab al-Iman no. 12).

Karena itu, dinyatakan sebagaimana di kutip oleh imam Qurthubi ketika menafsirkan ayat di atas, persaudaraan agama lebih kokoh dari pada perasudaraan nasab (berdasarkan garis keturunan). Sebab persaudaraan nasab terputus dengan perbedaan agama, sebaliknya, persaudaraan agama tak pernah terputus oleh perbedaan nasab. Kedua, Ukhuwah merupakan bagian utuh dari konsekuensi keimanan, tak terpisahkan. Seorang muslim tidak bisa membangun keshalihan pribadinya dan keluarganya sendiri lalu lupa dengan nasib saudara-saudaranya semuslim. Rasul Saw bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sayang dan solidaritas mereka seperti satu tubuh, jika salah satu anggotanya mengeluh, maka seluruh jasad akan merasa tidak bisa tidur dan demam. (HR Muslim, kitab Birr wa ash-Shilah wal adab, No.4685).

Ukhuwah bukan hanya ditunjukan dengan saling berbagi rasa. Itu Cuma satu potret dari kesepahaman hati yang paling luas, yang melampaui batas-batas teritorial, geografis maupun kebangsaan. Dengan demikian tak ada beda muslim yang berkulit hitam legam dengan kulit yang putih bersih, antara barat dan timur, antara kaya dan miskin. Kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Muslim adalah “sampah peradaban” yang harus diharmoniskan secara konstruktif. “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada fisik kalian, tidak juga pada bentukmu, tapi pada kehati-hatian kalian (HR Muslim, Kitab Birr wa ash-Shilah wal adab, No.4650).

Ukhuwah juga bukan sekedar perasaan empati dan rasa senasib sepenanggungan terhadap sesama muslim. Bukan pula secuil perasaan menyesal dan kasihan yang sering berujung tangisan. Ia meminta bukti nyata dalam perhatian, pikiran dan tindakan, dalam ujaran dan tutur kata. Ia terjelma dalam do’a khusuk dan ikhlas kita di tengah malam saat tak ada yang mendengar kecuali Yang Maha Mendengar.

Kini, ketika umat Islam di buat centang perenang diberbagai belahan dunia, perasaan ukhuwah itu justru sangat sedikit mencuat hanya sedikit yang menabuhkan protes dan kegusaran, berbagai godaan, problem dan kepentingan pribadi telah melenakan bahkan memadamkan, upaya internalisasi problem-problem kemuatan dalam pikiran dan perhatian kita.

Kita sibuk dengan perpecahan dan saling sengketa, rebut tentang siapa ikut kelompok mana dan siapa akam mendapat apa. Lalu lupa yang lebih penting dari itu, yaitu membuka katup-katup dialog dan komunikasi. Tujuannya agar dapat menyatukan hati, saling mengingatkan dan membetulkan. Kita lupa, bahwa bukan soal saudara kita semuslim berbuat keliru dan maksiat. Yang terpenting adalah bagaimana membuatnya, tak lagi terjebak dalam kekeliruan dan kemaksiatan yang dilakoninya.

Jangan dilupakan pula, kokohnya ukhuwah adalah salah satu pilar kemenangan Islam. Hanya dengan bersatu umat Islam dapat Berjaya. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Dien) Allah, dan jangan lah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…”(QS. Ali Imran:103).

Disini, beda pendapat dalam tubuh umat Islam sah-sah belaka. Peradaban tak mungkin tegak tanpa keanekaragaman pandangan yang memperkaya. Tanpa pluralitas yang mencerahkan. Dengan syarat, atmosfirnya untuk kepentingan memperbaiki dan membangun, bukan merusak apalagi meruntuhkan. Karena perbedaan bukanlah tujuan, tapi lebih sebuah akibat dari upaya sungguh-sungguh umat Islam berlomba-lomba dalam kebaikan.

Disisi lain, perbedaaan dan sunatullah keanekaragaman itu tidak boleh menjadi dalih untuk menyuburkan kesesatan dan meninggalkan petunjuk Al-Qur’an . “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah(terserah) kepada Allah…,”(QS.Al-An’am:159).

Umat islam harus mengusung persatuan, meski di saat yang sama harus memahami perbedaan. Keduanya harus dibangun di atas basis keimanan dan ukhuwah. Maknanya, mereka bersatu karena Allah memerintahkan hal itu. Namun merekapun memahami dan toleran terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keduniaan dan yang bersifat khilafiyah-ijtihadiyah sebagai bentuk perwujudan ukhuwah.

Sampai disini, tak perlu ada lagi kesangsian bagi terwujudnya persatuan islam dan kaum Muslimin. Kita harus memahami makna persatuan itu secara benar sebelum mewujudkannya. Agar kita dapat bersikap dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Kiat-kiat Membangun Ukhuwah
Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) bukanlah teori. Ini adalah ajaran praktis yang bisa kita lakukan dalam keseharian. Karena itu, nikmatnya ukhuwah tidak akan bisa kita kecap, kecuali dengan mempraktikannya.

Jika delapan cara di bawah ini dilakukan, Anda akan merasakan ikatan ukhuwah Anda dengan saudara-saudara seiman Anda semakin kokoh.

1. Katakan bahwa Anda mencintai saudara Anda
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits shahih)

Anas r.a. mengatakan bahwa seseorang berada di sisi Rasulullah Saw., lalu salah seorang sahabat melewatinya. Orang yang berada di sisi Rasulullah tersebut mengatakan, “Aku mencintai dia, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu sudah memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Kemudian orang yang dicintai itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud, dengan sanad shahih)
Jadi, jangan tunda lagi. Katakan cinta kepada orang yang Anda cintai.
2. Minta didoakan dari jauh saat berpisah
Umar bin Khaththab berkata, “Aku minta izin kepada Nabi Muhammad saw. untuk melaksanakan umrah, lalu Rasulullah saw. mengizinkanku.” Beliau bersabda, “Jangan lupakan kami, wahai saudaraku, dalam doamu.” Kemudian ia mengatakan satu kalimat yang menggembirakanku bahwa aku mempunyai keberuntungan dengan kalimat itu di dunia. Dalam satu riwayat, beliau bersabda, “Sertakan kami dalam diamu, wahai saudaraku.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih)
Bersambung ke himmah


Nasehat Dan Fatwa Menuju Hidup Bahagia Ibnu Hajar Al- ‘Asqalani
Nasihat Lukmanul Hakim kepada Putranya
“Wahai anaku, apabila kamu termasuk bijak, kamu dapat mengamalkan sepuluh perkara, yaitu: dapat menghidupkan hati yang mati, suka bergaul dengan orang miskin, menjaga diri dalampergaulan dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya, menyayangi orang tua, memerdekakan hamba, mengungsikan orang yang terlantar, memberi bantuan kepada orang fakir, menghargai kemuliaan orang yang memang mulia, menghormati kepemimpinan pemimpin. Kesepuluh hal itu lebih mulia dari pada harta, penangkis rasa takut, sebagai bekal dalam berperang dan sebagai dagangan yang berlaba. Ia dapat memberi syafaat waktu susah, dan sebagai bukti pada nafsu bila sudah tiba ajalnya. Dan ia bagaikan penutup aurat disaat telanjang. “

Saatnya Intropeksi Diri

Fajar 2010 baru lahir seumur jagung tahun 2009 telah berakhir. Satu tahun lagi usia kita bertambah. Satu tahun juga jatah hidup kita berkurang.

Bagi seorang Muslim, berlalunya waktu hendaknya tak lewat begitu saja. Ia harus menjadi momen untuk mengoreksi diri. “Hisablah dirimu sebelum dihisab pada hari kiamat.” Pesan Umar bin Khattab suatu ketika.

Muhasabah atau intropeksi diri perlu dilakukan bukan semata untuk mengingat dosa-dosa yang telah dilakukan. Tapi juga untuk merancang masa depan agar menjadi lebih baik dan bermakna. Inilah yang Allah maksudkan dalam firman-Nya , “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah di perbuatnya untuk hari esok (kiamat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS al-Hasyr:18).

Ayat tersebut merupakan peringatan sekaligus bimbingan Allah SWT agar kita melakukan muhasabah atau intropeksi diri. Kita minta untuk merenungi apa yang telah kita perbuat dan menilai sejauh mana amal yang telah kita kerjakan untuk persiapan sebagai bekal diakhirat.

Setiap Muslim harusnya mengingat ayat tersebut dan merenunginya dengan sepenuh hati agar dapat memahami realitas diri. Bagaimanapun, kehidupan akhirat bagi seorang Muslim lebih penting ketimbang kehidupan dunia. Dunia ini bersifat fana. Kehidupan akhiratlah yang abadi. Allah SWT menginagatkan, “Sedangkan kehidupan akhirat lebih baik dan kekal,”(QS.al-A'la:17).

Kita harus senantiasa mawas dan menjaga diri. Mungkin selama ini kita sering terbuai dengan kehidupan dunia. Waktu kita habiskan untuk memikirkan dan mengejar kesenangan dunia sehingga mengabaikan persiapan dan bekal kehidupan akhirat.
Surat al-Hasyr ayat 18 berisi perintah agar kita senantiasa mengevaluasi amal kita, sejauh mana kemusliman kita telah ditunjukan, sejauh mana keimanan telah di buktikan di hadapan Allah SWT, dan sejauh mana bekal berupa amal shalih telah kita kumpulkan untuk kehidupan diakhirat kelak.

Kehidupan dunia merupakan ujian dari Allah SWT bagi manusia. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada dibumi sebagai perhiasan baginya agar kami menguji mereka, siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.”(QS al-Kahfi:7)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menjadi kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tiada lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid:20)

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Bagi seorang Muslim waktu sangat penting dan berarti, bahkan merupakan esensi kehidupan itu sendiri. Dalam surah al-'Ashr Allah SWT bersumpah denga waktu, memperingatkan kita untuk mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shalih. Dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Surat al-Hasyr ayat 18 diatas termasuk salah satu ayat yang sangat popular berkaitan dengan waktu sekaligus, yaitu : masa lalu, masa kini dan masa depan.

Selain itu ada beberapa hal yang Allah SWT perintahkan dalam ayat tersebut. Pertama, seruan kepada orang yang beriman agar bertaqwa. Orang yang mengaku beriman kepada Allah tapi tidak melaksanakan kewajibannya, ia tak tergolong orang yang bertakwa. Dari sini para ulama mendefinisikan taqwa sebagai kemampuan dalam melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Melalui ayat ini juga, Allah SWT mengingatkan kita agar mampu mewujudkan nilai-nilai keimanan tersebut dalam kehidupan, sehingga kita termasuk orang yang bertaqwa.

Kedua, perintah untuk mengingat, mengevaluasi dan menghitung amal yang telah kita lakukan untuk hari esok. Kenyataannya, melihat dan mengoreksi kekurangan diri jauh lebih sulit dari pada melihat dan mengoreksi kekurangan orang lain. Inilah yang sering menggelincirkan manusia pada jurang kehancuran dan permusuhan, karena itulah Allah SWT memerintahkan kita untuk terus menghisab diri, maka kita akan semakin tahu kekurangan diri, semakin tahu kekurangan diri maka semakin mudah kita memperbaikinya.

Selain mengasah kemampuan dalam menghisab diri ada hal lain yang lebih penting, yaitu kemampuan menjaga kelangsungan aktifitas muhasabah tersebut. Karena itu dalam akhir ayat diatas diungkapkan bahwa bila kita melakukan kesalahan setelah menghisab diri, maka ingatlah bahwa Allah Mengetahui semua yang kita kerjakan.

Rasulullah saw mengingatkan betapa pentingnya muhasabah ini. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh iman Ahmad, beliau mengibaratkan orang yang konsisten menghisab diri sebagai orang yang pandai. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang pandai itu adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya, dan ia senantiasa beramal untuk kelak setelah kematiaanya.” Selanjutnya Rasulullah saw mengatakan bahwa orang yang bodoh adalah orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya, dan ia selalu berharap kepada Allah tanpa banyak berbuat, tanpa menyadari dan bertaubat atas dosa-dosanya”.

Sungguh tak terbayangkan, betapa sulitnya bila kita harus menghadapi proses hisab dihadapan Allah. Saat itu kita tidak bisa mengelak sedikit pun dari kesalahan. Karena itu momen pergantian tahan hendaknya tak kita rayakan dengan hura-hura glamour dunia. Saatnya kita mengintropeksi diri dan menghitung kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan. Allah SWT berfirman, “(yaitu) Orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhan mu Maha luas ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.”(QS an_Najm:32).

Ayat tersebut benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali kita berbuat khilaf. Bahwa seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar , kita pasti tidak akan luput dari dosa-dosa kecil. Allah menegaskan, jangan merasa mengklaim bahwa diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa dan yang tidak. Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di dalam rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun Allah juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang amat luas.

Selain kelemahan itu, manusia juga mudah tergelincir kelembah kemaksiatan lantaran godaaan setan. Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Qur'an), kami adakan baginya syeithan (yang menyesatkan). Maka syeithan itulah yang menjadi teman yang selalu meyertainya. Dan sesungguhnya syeithan-syeitan itu menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk,” (QS az-Zukhruf:36-37)

Kita lemah. Gampang tergoda. Mungkin kita bisa menghindari dosa-dosa besar. Tapi kita tak mungkin kita sanggup berkelit dari dosa-dosa kecil. Semoga kesadaran akan rentannya kita dari godaan setan, mendorong kita memuhasabah diri. Tak lupa, memandang kedepan dengan penuh semangat untuk merangkai ibadah yang lebih baik. Hepi andi sabili 31 des 2004

Nasehat Dan Fatwa Menuju Hidup Bahagia Ibnu Hajar Al- ‘Asqalani
Khalifah Ali bin Abi thalib k.w.
“Tidak disebut shalat yang baik, tanpa disertai khusyu. Tidak di sebut shaum yang baik tanpa disertai menahan diri. Tidak disebut membaca Al-quran yang baik, tanpa perhatian penuh akan isinya. Tidak disebut berilmu yang baik, tanpa memiliki sifat wara. Tidak disebut bersaudara yang baik, tanpa pemeliharaan. Tidak disebut nikmat yang baik, tanpa dikekalkan. Tidak di sebut do’a yang baik, tanpa ikhlas”.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger